Rabu, 25 Juni 2008

Nilai Positif Anda

Pernah berpikir seberapa baikkah value yang kita miliki untuk dapat menjadikan putra putri kita anak yang baik ?

Kondisi pertama; Kalau kita berpikir bahwa kita ”sudah cukup baik” dalam beberapa hal.
Cobalah catat dan analisis lah hal hal tersebut dengan cermat.
Misalkan bahwa kita ini bukan pemakai narkoba atau alkoholik, cobalah ditelisik bagaimana kita bisa seperti itu ?, apa yang menjadi peran dominan kondisi seperti itu; apa karena orang tua kita ?, atau karena pendidikan (moral/agama), karena lingkungan sosial lainnya ?, atau karena suatu pengalaman hidup lainnya (empiris) ?

Kondisi kedua ; Kalau kebetulan kita mempunyai (dan merasa) mempunyai “label buruk” pada diri kita untuk sesuatu hal.
Sama dengan kondisi pertama, coba telisik kenapa kita bisa sampai demikian.

Coba tangkap nuansa perjalanan hidup kita selama ini sejak kecil sampai sekarang ini, cari dan perhatikan pengaruh positif (atau negatif) apa yang dominan mempengaruhi kita sehingga menjadi ”baik atau buruk”.
Kemudian proyeksikan kedalam kerangka waktu sekarang untuk kondisi putra/putri anda (tentunya ada konversi konversi tertentu akibat perbedaan waktu tersebut). Apakah yang masih mereka butuhkan, dapatkah ”nuansa positif” dari catatan kita, dimasukkan kepada anak kita dan membuang ”nuansa negatif”.

Saya cukup yakin kalau kita mau jujur mengenai analisis dari catatan hidup kita, maka hal tersebut akan banyak berguna untuk menjadi referensi dalam mendidik, mengarahkan dan menghantarkan anak anak kita untuk menjadi manusia yang jauh lebih baik daripada kita.

Sabtu, 21 Juni 2008

Porong – Gempol

Awalnya seperti hal kecil saja, ada semburan gas, uap, air dan Lumpur panas.
Siapa yang nggak pernah dengar Lumpur Panas Lapindo, letaknya di desa Renokenongo, Kabupaten Sidoarjo. Lokasi tersebut berjarak mungkin sekitar 500 meter dari ruas jalan tol Surabaya Gempol lebih kurang di km 38.
Siapa sangka hal yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 sampai sekarang belum berhenti.





Sudah banyak alasan mengenai penderitaan masyarakat, baik yang langsung maupun tidak langsung terkena dampak ”mud vulcano” ini. Saya kehilangan tiga rekan saya ketika terjadi ledakan akibat patahnya pipa gas yang terhampar di lokasi tersebut pada tanggal 22 November 2006.


Hal yang masih mengganjal salah satunya adalah ; berapa besarkah probabilitas bahwa semburan ini akan berhenti dalam kurun waktu tidak lama ?
Pertanyaan ini terkait sekali dengan penanganan/pengelolaan risiko dari segenap program program penanggulangan musibah ini.

Sebagai contoh adalah program relokasi prasarana perhubungan/transportasi seperti; jalur KA, arteri tol/bukan tol, khususnya di ruas antara Porong – Gempol.
Rencana alignment jalan tol, sepertinya sudah ada alternatif terpilihnya. Namun terakhir ini kita mendengar pula berita tentang adanya titik titik semburan baru yang jaraknya cukup dekat dengan alternatif alignment yang terpilih tadi.
Apa ada jaminan analisis yang cukup untuk menetapkan alternative alignment tersebut “aman” dari kemungkinan gempuran semburan Lumpur?, say, for the next 5 years, 10 years, or more ?

Padahal perkerjaan relokasi jalan tol tersebut sepertinya diserahkan kepada investor (Badan Usaha). Apakah investornya tesebut kira kira mau untuk membangun/berinvestasi ?, dengan risiko seperti ini (membenamkan milyaran rupiah kedalam lumpur) apakah tidak sebaiknya dilakukan oleh pemerintah saja ?.
Kalaupun misalnya risiko tersebut akan di asuransikan, apakah ada perusahaan asuransi yang mau ya ?

Jumat, 13 Juni 2008

Membawahi atasan

Kalau topik mengenai ”Mengatasi Bawahan” kita sudah sering mendengar dan mengetahui tapi kalau ”Membawahi Atasan” rasanya jarang ya.
Tulisan ini sebetulnya lanjutan dari posting saya sebelumnya ”kalau X maka Y”.
Setelah teori sya dipakai (hasil test atasan disebar luaskan kepada bawahan) maka perlulah bawahan membaca buku ini ” Memanajemeni Atasan”.




Bukunya tipis, isinya cukup menarik, terbitan LPPM.
Buku ini bukan hanya untuk orang yang bermasalah dengan atasan lho, yang tidak bermasalah juga perlu supaya kerja lebih efektif.

Kata orang ; Atasan itu ada yang positive predictable dan juga ada yang negative unpredictable.


Untuk anda yeng kebetulan mempunyai atasan yang negative unpredictable jangan khawatir deh, suatu kali Mario Teguh pernah bilang:

”Atasan yang buruk adalah contoh yang terbaik bagi orang yang akan jadi pemimpin besar..”

he..he.. he,mimpi kali yeee.

Mobile Society

Lima belas tahun yang lalu mungkin hanya sedikit dari kita yang pernah membayangkan bahwa kehidupan kita sekarang ini sangat ”connected” setiap saat.
Dari tengah sawah bisa kontak sekretaris di kantor, ditengah jalan bisa kirim e-mail mengenai data hasil penjualan ke kantor pusat, dn masih banyak lagi hal hal yang dulu belum terbayangkan.
Di lain sisi kita sekarang juga makin tergantung dengan gadget gadget baru di dalam mobile society kita sekarang ini.Banyak kmudahan tapi juga melahirkan makin banyak ketergantungan. Sebenarnya mobile technology ini berkah atau wabah bermusibah sih.
Coba sekarang jarang orang pergi tanpa ponsel, kemudian nanti mungkin akan sulit pergi tanpa laptop. Lha wong saya saja beberapa waktu yang lalu outbound ya maksa bawa laptop dan asesorisnya (supaya nggak ketinggalan berita mengenai sepak bola dan info selebritis).



Kalau X maka Y

Kalau X maka Y bukan berarti kalau Y maka X... wah opo yo.
Bukan masalah matematika, ini masalah persepsi teoritis, empiris psikologis dan sering membuat meringis.
Siapa yang tidak pernah ikut psikotest ?, saya sering, untuk memasuki kelompok strata tertentu, baik dikelompok akademis, kelompok sosial atau kelompok strata jabatan tertentu (naik pangkat gitu.).
Cape, mbosenin (apalagi kalau metoda yang digunakan itu itu saja), dan konon dapat dipelajari ( untuk bisa lolos test).
Tapi tahukan anda bahwa dipelbagai tempat dan kesempatan, test ini bisa membawa malapetaka bagi seseorang atau pun bahkan banyak orang.
Saya ingin membicarakan khususnya tentang psikotest untuk menapak ke strata kelompok jabatan yang lebih tinggi di suatu perusahaan.
Paling mengkhawatirkan di perusahaan yang (atas nama pemberian kesempatan yang sama) tetapi tidak mempunyai data track record seseorang dan memberikan bobot yang besar pada hasil psikotest yang nota bene dilakukan selama 2 atau 3 hari saja dari kurun waktu yang panjang untuk karier seseorang.
Lebih parah lagi kalau hasil test tadi me ”label” seseorang (mencap seseorang pada suatu kriteria tertentu), tanpa ada pembacaan record dari prestasi (achievement) apa yang pernah dibuat, kesalahan apa yang pernah dilakukan, pendapat atasannya, bawahan atau kolega horizontal.
Langsung dicap ”Kalau hasil testnya X maka dia pantasnya berlabel Y”.
Padahal kalau dia sudah berlabel Y belum tentu dia punya hasil test X lho.
Menurut saya memang wajar dan biasa penggunaan hasil psikotest sebagai alat untuk menilai, tapi tentunya bukanlah satu-satunya alat, dan besar bobotnyapun perlu dipertimbangkan terhadap kriteria-kriteria lainnya.
Dan satu hal lagi. Pada umumnya hasil test dipegang oleh kelompok atasan, untuk mengetahui karakter bawahan sehingga atasan dapat memilihkan tempat bagi bawahan dan juga sebagai bahan untuk membina (memperbaiki kelemahan) bawahan.
Lha itu idealnya, kalau saya terbalik.
Sebaiknya hasil test kelompok atasan harusnya juga disebarluaskan dikelompok bawahan. Tujuannya agar bawahan dapat mengenali karakter atasan dan dapat melayani atasan dengan lebih baik serta tepat sesuai karakter atasannya.wah ya agak nyleneh.

Bonding

Kemarin saya sempatkan untuk memilah koran koran lama untuk di ”pindahkan” ke tukang barang bekas.Eh kebetulan ketemu dengan sebuah artikel di Harian Kompas tanggal 17 Mei 2008 yang disusun oleh Eileen Rahman dan Sylvina Savitri.


Mereka menulis tentang Gunung Es Komunikasi.
Pada banyak empat dan kesempatan kita sering
melihat ada suatu kelompok spesies manusia (dalam suatu organisasi) yang terdiri dari individu yang cerdas, akrab, ketawa ketiwi satu sama lain tetapi tidak berkinerja optimal.Hubungan kerja dan hubungan sosial terasa hambar meskipun nggak ada konflik yang nyata (apalagi kalau ada konfliknya ya..). Why ..?.
Karena atmosfir didalamnya tidak menampakkan saling percaya antar anggota individunya. Komunikasi yang terjadi selalu dihantui rasa ”distrust , and prejudice”, meskipun hubungan yang terjadi penuh dengan canda ketawa ketiwi dan seolah akrab sebenarnya hanyalah berada pada puncak gunung es komunikasi saja. Coba saja pada suatu rapat penting (misalnya: rapat kabinet), keputusan yang telah dibuat dengan komitmen,pada tahap pelaksanaannya melempem dan sasaran gak pernah tercapai.koordinasigak pernah terjadi ”dengan tulus”, togetherness, rasa percaya dan kebersamaan tidak pernah terwujud.
Bonding antara pengambil keputusan dengan yang menanggung dampak keputusan tersebut tidak ada.


Modal sosial manusia; simpati, rasa pertemanan, kebersamaan dan solidaritas justru terasa pada saat bekerja secara negatif, pada saat protes, demo dsb., padahal justru hal hal ini perlu dimanfaatkan untuk memperkuat kinerja, melawan krisis atau menghadapi perubahan. Weleh weleh ...hebat uraian kamu Eileen.

Tadinya saya mau menyimpan artikel itu untuk jadi renungan lebih lanjut, tapi nggak jadi, huh... who cares hal ini ini kan tidak terjadi di organisasi saya (wuih menghibur diri nih).
Koran itu saya masukkan ke bagian yang akan ”dipindahkan” ke loakan.