Jumat, 13 Juni 2008

Kalau X maka Y

Kalau X maka Y bukan berarti kalau Y maka X... wah opo yo.
Bukan masalah matematika, ini masalah persepsi teoritis, empiris psikologis dan sering membuat meringis.
Siapa yang tidak pernah ikut psikotest ?, saya sering, untuk memasuki kelompok strata tertentu, baik dikelompok akademis, kelompok sosial atau kelompok strata jabatan tertentu (naik pangkat gitu.).
Cape, mbosenin (apalagi kalau metoda yang digunakan itu itu saja), dan konon dapat dipelajari ( untuk bisa lolos test).
Tapi tahukan anda bahwa dipelbagai tempat dan kesempatan, test ini bisa membawa malapetaka bagi seseorang atau pun bahkan banyak orang.
Saya ingin membicarakan khususnya tentang psikotest untuk menapak ke strata kelompok jabatan yang lebih tinggi di suatu perusahaan.
Paling mengkhawatirkan di perusahaan yang (atas nama pemberian kesempatan yang sama) tetapi tidak mempunyai data track record seseorang dan memberikan bobot yang besar pada hasil psikotest yang nota bene dilakukan selama 2 atau 3 hari saja dari kurun waktu yang panjang untuk karier seseorang.
Lebih parah lagi kalau hasil test tadi me ”label” seseorang (mencap seseorang pada suatu kriteria tertentu), tanpa ada pembacaan record dari prestasi (achievement) apa yang pernah dibuat, kesalahan apa yang pernah dilakukan, pendapat atasannya, bawahan atau kolega horizontal.
Langsung dicap ”Kalau hasil testnya X maka dia pantasnya berlabel Y”.
Padahal kalau dia sudah berlabel Y belum tentu dia punya hasil test X lho.
Menurut saya memang wajar dan biasa penggunaan hasil psikotest sebagai alat untuk menilai, tapi tentunya bukanlah satu-satunya alat, dan besar bobotnyapun perlu dipertimbangkan terhadap kriteria-kriteria lainnya.
Dan satu hal lagi. Pada umumnya hasil test dipegang oleh kelompok atasan, untuk mengetahui karakter bawahan sehingga atasan dapat memilihkan tempat bagi bawahan dan juga sebagai bahan untuk membina (memperbaiki kelemahan) bawahan.
Lha itu idealnya, kalau saya terbalik.
Sebaiknya hasil test kelompok atasan harusnya juga disebarluaskan dikelompok bawahan. Tujuannya agar bawahan dapat mengenali karakter atasan dan dapat melayani atasan dengan lebih baik serta tepat sesuai karakter atasannya.wah ya agak nyleneh.

1 komentar:

ADITYAWARMAN mengatakan...

Pak Joko, sepertinya labelisasi itu tidak terhindarkan, sepanjang karir plan, performance appraisal masih terus jadi problem seperti disini, tapi okelah, karena tampaknya situasi ideal kelihatannya gak mungkin , barangkali yang kita keluhkan sebenarnya cuma minta diberi kesempatan yang sama dan gampangnya sudah saja dasarnya senioritaslah, beri bobot psikotest itu lebih rendah dibandingkan track record. Jadi kalau kebetulan dapat yang senior dan bagus yah itu ideal, tapi kalau enggak pun minimal sudah mengurangi grievancy, mungkin definisi adil itu gitu bagi saya cuma ingin perlakuan adil, dan karena nyangkut manusia maka setiap keputusan yang diambil harus didasarkan pada intuisi, dan dikomunikasikan.