Rabu, 06 Juli 2011

Batalion Pelangi

Awal Juli ini kebetulan kami mendapat kesempatan menyaksikan pertunjukan musikal yang (menurut pendapat saya), beyond my expectation. Musikal Laskar Pelangi, pertunjukan musikal ini memang disadur dari novel best seller karya Andrea Hirata sebuah novel yang sangat inspiratif bagi bangsa yang haus akan tokoh panutan, akan tetapi tanpa suatu proses penciptaan yang sempurna, mustahil drama musikal ini bisa mendapat sambutan yang sehebat itu. Saya merasakan bahwa chemistry yang terjadi antara sutradara, komposer, koreografer, produser, desainer, serta para pemain pendukungnya sangat pas, ‘just right’.

Inti cerita dari novel “Laskar Pelangi” (menurut pengarangnya) adalah suatu cerita mengenai perjalanan balas dendam sang penulis atas kondisi (nasib) yang dialami sahabat yang sangat dikaguminya yang harus pada akhirnya menyerah menjadi korban, tidak dapat meneruskan sekolahnya karena himpitan ekonomi. Sang penulis tidak ingin menjadi korban kedua, Andrea ingin meneruskan cita cita sang sahabat untuk dapat bersekolah tinggi di luar negeri, and he did it. Dan tentu saja novel ini juga ditulis dengan cinta seorang murid terhadap konsistensi dan dedikasi sang Ibu Guru Muslimah.

Kejadian dalam cerita itu terjadi disekitar penghujung tahun 70 an, dan novelnya diangkat tahun 2004 atau 2005.
Surprisingly, 30 – 40 tahun kemudian setelah kejadian dalam cerita itu, saya masih membaca cerita yang menyedihkan tentang pendidikan di negeri ini, bahkan beberapa hari yang lalu saya membaca artikel di head line surat kabar mengenai bagaimana sulitnya mendapatkan sekolah dari semua tingkatan, tinggi, menengah maupun dasar. Hal ini yang kemudian juga ikut berperan dalam melunturkan rasa kejujuran kita (kasus Ibu Siami dan keluarganya dari Surabaya), padahal kita tahu bahwa di Sekolah Dasar lah seorang anak mendapatkan pendidikan pertama mengenai pondasi norma kejujuran.



Saya jadi khawatir dan membayangkan, kalau disaat itu saja ada Laskar Pelangi (dalam pengertian anak anak yang minim sekali mendapat kesempatan berpendidikan), lha bagaimana sekarang setelah beberapa decade kemudian ?, mungkin tidak sekedar hanya Laskar Laskar Pelangi tapi sudah ada berapa Batalion Batalion Pelangi di negeri ini…

Ibukota (2)

Beberapa waktu yang lalu tepatnya dihari Senin 27 Juni 2011, terjadi kemacetan yang luar biasa hampir disemua jalan arteri utama Ibukota. Kemarahan dan kekesalan menjadi sangat wajar ketika beribu kendaraan hanya dapat berjalan beringsut seperti siput dan terkadang harus berhenti lama, kondisi tersebut terjadi mulai siang hingga tengah malam.Dapat dibayangkan pemborosan sumber daya waktu dan pemborosan bahan bakar minyak akibat kemacetan tersebut.
Kejadian ini disebabkan oleh karena dikuranginya kapasitas jalan akibat perbaikan jembatan di km 9 Jalan Tol Jagorawi arah ke Selatan (Bogor).
Perbaikan jembatan tersebut memang memerlukan manajemen pelaksanaan yang lebih baik sehingga semua pihak dpat lebih mengantisipasi keadaan yang akan terjadi. Selain Manajemen pelaksanan konstruksi, juga manajemen lalu lintas harus dilaksanakan dengan suatu kajian lalu lintas dan jaringan jalan dengan baik.
Apabila diperhatikan pada skema jaringan berikut, ternyata kejadian gangguan lalu lintas yang “HANYA” terjadi di km 9 jalan tol Jagorawi (arah Selatan/Bogor) telah meluluh lantakkan hamper sebagian besar lalu lintas di Jakarta. Dampak yang terjadi sampai beberapa belas kilometer ruas areri utama ibukota, dampak kemacetan mencapai jalan tol Bandara, Arteri Pondok Indah, Tomang, dan sebagian besar Jakarta Utara.




Akan tetapi kemudian pertanyaannya, seberapa mampu lagi kita meningkatkan kualitas metoda pelaksanaan pekerjaan (manajemen pelaksanaan konstruksi) dan manajemen lalu lintas ?, dan pada waktu yang lain tentunya akan ada lagi kegiatan perbaikan jembatan atau pemeliharaan lain dari ruas-ruas jalan di Jabotabek.
Dari kejadian tersebut ternyata dapat kita simpulkan bahwa kondisi transportasi di Ibukota sudah sangat kritis, sangat sensitive sekali terhadap adanya gangguan meskipun gangguan tersebut relative kecil ( misalnya ada satu mobil mogok saja berdampak besar).
Sudah nggak kurang tulisan para ahli transportasi mengenai kondisi transportasi di di wilayah Jabotabek dibahas, dibuat studinya dan sebagainya. Data menunjukkan timpangnya pertumbuhan infrastruktur transportasi dibandingkan dengan pertumbuhan sarana kendaraan pribadi.
Yang paling menonjol adalah tingginya pertumbuhan kepemilikan kendaraan roda dua dan juga perubahan moda transportasi pengguna kendaraan umum yang menurun drastic.
Pengguna bis (bis merupakan transportasi umum yang terbesar di jabotabek) turun dari 38 % menjadi 12.9% saja di tahun terakhir ini.
Skema berikut menggambarkan besaran dari lalu lintas harian rata rata di beberapa jalan tol di wilayah Jabotabek.



Dengan rata rata sekitar 200.000 kendaraan perhari di masing masing ruas, maka masuk akal kalau gangguan sedikit saja di ruas jalan utama di Jakarta, maka lumpuhlah transportasinya, apalagi gangguannya cukup besar seperti pada kasus perbaikan jembatan di Jagorawi.

Transportasi di Ibukota, menurut saya, hanya akan terurai kalau kita; Pertama, segera memiliki transportasi umum masal yang reliable, yang “SANGGUP / MAMPU” untuk memindahkan moda transportasi dari kendaraan pribadi ke sarana transportasi umum masal; Kedua, mulai secara bertahap mengatur dengan tegas pola penggunaan lahan agar sentra aktivitas dapat dikendalikan.

Mari kita ikut mendukung disegerakannya program pelaksanaan sarana dan prasarana transportasi umum masal yang reliable di Ibukota