Rabu, 27 Januari 2010

New Zealand ke World Cup

Berita diakhir tahun 2009; Kesebelasan Rusia dan Kesebelasan Irlandia berhasil menyamai prestasi PSSI, “sama sama gak bisa ikut di kancah World Cup tahun 2010 di Afrika Selatan, sama sama nggak bisa membanggakan rakyat dan bangsanya”.
Perbedaannya adalah; bahwa Kesebelasan Irlandia dikalahkan oleh ‘tangannya’ Thiery Henry, Kesebelasan Rusia dikalahkan oleh persaingan yang sangat berat di dalam Group penyisihan, sedangkan PSSI dilanda masalah sangat fundamental, ‘tidak bisa main sepak bola’. Yang dipertunjukkan pemain bola kita seringkali hanyalah Kekasaran Di Lapangan Bola (KDLB), hal yang sangat tidak perlu dilakukan selalu secara berulang dipertontonkan oleh pemain kita, ini sangat tidak profesional. Seharusnya mereka sadar bahwa cedera yang diakibatkan oleh kekasaran akan berakibat rejeki orang yang dicederai akan berkurang bahkan bisa hilang (bukankah pemain lawan juga menggantungkan hidupnya dari Sepak Bola..?)

Sampai kapan kira kira PSSI yang pernah dipimpin oleh seseorang dari balik jeruji penjara ini bisa punya arti di peta persepak bolaan dunia ?. Boro boro peta sepak bola dunia, untuk Piala Asia saja kita tidak bisa ikut (ini juga sebagian sebabnya juga karena permainan kasar sehingga pemain kita kena kartu merah). Untung kita tidak menerapkan sistem “Reward and Punishment” artinya, kalau kita menang pemainnya membawa harum nama bangsa dan kemudian diberi hadiah atau jaminan hidup yang baik tetapi sebaliknya kalau kalah dan membawa malu nama bangsa maka pemain dan pengurusnya diberi hukuman.
Dulu kalau bermain lawan Singapura, diatas kertas dan di atas lapangan kita menang, tapi sekarang.. yang ada was was terus, dan berusaha nyari Dewi Fortuna yang sering ngumpet kalau dicari sama PSSI.

Berita lain di akhir tahun lalu, New Zealand masuk ke putaran World Cup... Nah Lho, negara yang penduduknya hanya berjumlah 4,3 juta orang, lebih sedikit daripada populasi biri-biri nya saja bisa masuk World Cup... Dimane muke lu..!!

The Truth, all the Truth, and nothing but the truth

Unsur Trust semakin dirasakan perlu terbentuk (ataupun dibentuk) pada Bangsa ini. Unsur ini merupakan hasil dari tata nilai yang bernama Integrity yaitu cinta dan setia kepada kebenaran (jangan dibaca ‘kebetulan” ya..), untuk menjadi setia dan cinta kepada kebenaran tidak hanya dibentuk oleh nilai religius saja, ada hal lain yang diperlukan dalam mencampur adonan Integrity dan yang kemudian bermuara kepada Trust, ada bangsa yang minim nilai religi tetapi sangat baik lingkungan integritasnya dan juga sebaliknya.
Yang sering dijadikan ukuran kadar ‘trust’ antara lain adalah sering atau tidaknya kebohongan terjadi.

Beberapa waktu yang lalu saya punya tulisan mengenai teknologi apa yang paling diperlukan oleh Bangsa Indonesia pada masa sekarang ini.Bukan mesin pengganda uang, atau alat pencari deposit minyak, atau alat pencitraan satelit mengenai kekayaan laut di Indonesia.
Yang sangat kita butuhkan saat ini adalah Mesin pendeteksi Kebohongan, “Lie Detector”.
Secara teknis “Lie Detector” mempunyai kemampuan untuk menganalisa antara lain; blood pressure, breath rate pulse, perspiration, arm and leg movement dan lain sebagainya untuk kemudian disimpulkan sebagai BOHONG atau TIDAK BOHONG. Jawabannya semudah YA atau TIDAK, jadi nggak ada yang jawabnya “BOHONG akan tetapi”... atau “TIDAK BOHONG akan tetapi...”

Nah kalau sekarang ini yang kita lihat sehari hari dibelantara kejadian dinegeri ini jawaban selalu tersembunyi dibalik kepentingan-kepentingan tertentu, YA atau TIDAK seringkali ditentukan dari banyaknya/kuatnya suara kepentingan tersebut. Dan secara horizontal masyarakat akan terbelah (tanpa alasan atau integritas). Nilai yang dianut adalah: “musuhnya temenku harus jadi musuhku juga”, atau” temennya temenku pasti juga adalah temenku” dan seterusnya.Polarisasi yang terbentuk tanpa hitungan atau alasan yang baik, tetapi berdasarkan hitung hitungan jumlah suara/massa.

Kembali ke alat ini, coba kita bayangkan berapa banyak efisiensi yang bisa kita lakukan kalau kita mempunyai “Lie Detector” yang canggih. Maka menurut saya Pembuatan Lie Detector yang canggih harus menjadi program unggulan untuk bangsa ini, sehingga pembacaan sumpah : “ I will tell you the truth, all the truth and nothing but the truth..” tidak lagi menjadi penting.

Prof Emil

Sekilas terbaca berita pelantikan Wantimpres yang baru, diantaranya terdapat Bapak Emil Salim.
Teringat beberapa waktu yang lalu sempat bertemu dengan beliau pada suatu acara di kantor, Prof. Emil sebagai pembicara dalam suatu topik mengenai pengembangan jalan di Indonesia.
Beliau bicara cukup panjang dengan membuka wawasan secara kritis mengenai beberapa kekurangan yang kita miliki dalam menetapkan strategical policies pengembangan transportasi di negara ini.

Beliau yang sangat dikenal selain sebagai ekonom adalah juga sebagai pegiat dan pengamat pelestarian lingkungan hidup. Pemikiran perlunya perpindahan dari teknosentris menjadi ekosentris atau dari ‘Values centered on technology’ menjadi ‘values centered on Nature’ menjadi sangat relevan pada kondisi saat ini (meskipun pertemuan mengenai Global Warming di Denmark dianggap gagal mencapai kesepakatan.. he he.).
Hal yang menarik untuk saya (dan ini tentunya nyata terjadi di sini), bahwa pengembangan transportasi kita sangat ‘car focused’, artinya hanya berfokus pada mobil atau pengguna jalan raya , dan ini harus diubah menjadi bagaimana menyediakan suatu ‘transportation services’ suatu penyediaan sistem transportasi yang memadai ‘not just thinking about built another road’.
Dengan begitu ‘spatial planning’ menjadi lebih diutamakan.Pemilihan moda transportasi yang efektif tentu dilakukan dengan baik sehingga kefektifan pengembangan transportasi dapat lebih tercapai.

Prof Emil juga mengatakan bahwa 1 hektar tanah di Jawa yang produktif ini akan sebanding dengan 4 atau bahkan 6 hektar tanah di luar Jawa, jadi pola pikirnya tidak sesederhana bahwa tanah di daerah produktif digantikan dengan sejumlah uang saja atau digantikan dengan sejumlah pepohonan ( atau istilah ekstrimnya ‘penghutanan’) disekitar jalan yang dibangun di Jawa, it’s more than that.
Bicara mengenai alternatif moda transportasi ?.. wah ini tentunya akan menyangkut policy yang berdampak sistemik pada bisnis sarana transportasi.
Produsen mobil dan motor yang sekarang merajai jalan raya tentunya punya sejarah kepentingan yang panjang untuk menjadi pressure group dalam pemilihan moda transportasi di negeri ini.
Lantas setelah jadi Wantimpres (lagi) dalam periode pemerintahan yang sekarang, apakah beliau punya kontribusi untuk perubahan..?

Identitas Indonesia

Saya bukan tukang insinyur dibidang Arsitektur, tetapi kalau kita lihat bangunan dan produk disain konstruksi lainnya yang dapat disebut sebagai Ikon Negara/Bangsa di sini, banyak yang tidak mencerminkan identitas ke Indonesiaan.
Kita sadar bahwa dari Sabang sampai Merauke begitu beragamnya simbol simbol budaya yang terlihat dari bangunan tradisional kita. Memang mungkin menjadi agak sulit untuk mencari suatu bentuk yang dapat mewakili Ke-Indonesiaan didalam mendisain bangunan, khususnya bangunan yang dijadikan Ikon Negara/Bangsa.
Coba kita perhatikan Istana Merdeka di Jakarta, saya yang awam ini tidak dapat menemukan unsur Ke-Indonesiaan disitu, kesannya adalah tipikal ‘Colonial”, mempunyai ruangan yang besar, tinggi dan sepertinya “dingin” dan kaku, pantasnya dihiasi dengan lukisan lukisan yang besar, berkarpet tebal dan berlampu kristal, bergordyn tinggi dan tebal (seperti rumah Bangsawan Eropa pada umumnya ), lantas dimana unsur Indonesianya ?. Coba kalau dikasih ornamen yang berbau etnik tradisional, rasa rasanya sih nggak akan pantes kalau nggak mau dibilang dipaksakan.

Saya sih tidak menyalahkan keberadaan ‘istana’nya sebagai bangunan yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi, tetapi kenapa kita tidak mempunyai Istana atau tempat tinggal resmi Kepala Negara atau apapun nama dan fungsinya yang berkaitan dengan simbol negara atau pemerintahan yang mempunyai nilai KeIndonesiaan?
Coba kita tengok Masjid Istiqlal yang besar dan anggun, saya tidak merasakan sentuhan KeIndonesiaan disitu, sama juga dengan gedung wakil rakyat yang menurut saya malah bentuk cangkang dari atapnya sangat tidak sesuai dengan kondisi iklim Indonesia pada umumnya, (yang memerlukan kesan terbuka karena iklim tropis).

Ayo siapa berani membuat sayembara disain “Istana” yang mempunyai Thema Ke-Indonesiaan?.

Sabda Pandita Ratu

Waktu saya masih kecil ketika sedang liburan kesuatu daerah (kota) yang kebetulan mempunyai alun alun, oleh orang tua saya diceritakan bahwa konon pada jaman dahulu apabila ada masyarakat jelata atau seseorang yang merasa tertindas, atau merasa diperlakukan tidak adil, atau punya uneg uneg yang ingin disampaikan ke penguasa tertinggi (Raja, Bupati, Residen), maka rakyat jelata tersebut bisa melakukan tapa Pepe , yang arti harfiahnya menjemurkan diri dipanasnya matahari alun alun.Biasanya kemudian sang Pimpinan kekuasaan akan memanggil yang bersangkutan untuk ditanya apa yang jadi sebab tapa Pepe tersebut dilakukan, setelah itu kemudian masalah atau persoalan akan diputuskan oleh sang bijak untuk diimplementasikan.
Tidak perlu ratusan atau ribuan orang yang melakukan Pepe, hanya satu orang saja sudah cukup untuk mendapat respon dari sang Pemimpin kekuasaan.Dan konon kata cerita, bahwa tindak lanjut implementasinya betul betul dilakukan dan dilakukan dengan betul, sang Pemimpin pegang janji (Sabda Pandita Ratu), satu masalah pun menjadi ‘solved’. Tidak ada jawaban yang ‘ulas-ulas’ saja (hanya dibibir saja) dari Sang Pemimpin.

Konon ber abad kemudian, ditanah yang sama di negeri ini, hal seperti ini juga terjadi, meskipun tidak dengan cara Pepe.Hanya kalau dulu implementasi pemecahan masalahnya pada umumnya workable dan dilakukan dengan baik. Sehingga tingkat kepercayaan bahwa masalah dapat diselesaikan adalah sangat tinggi.
Nah kalau saat ini; apabila kata sudah dititahkan, kemudian pembahasan sudah di’rembug’kan maka seolah olah masalahnya sudah ‘solved’.
Hal semacam ini (maksud saya kalau sudah dirembug secara luas dan melibatkan semua unsur terkait maka dianggap masalah sudah ‘solved’) ; ini terjadi diorganisasi manapun dalam tingkat apapun.
Kalau ada masalah atau risiko asal sudah pernah dirembug, bikin Tim ini bikin Tim itu, rapat koordinasi ini dan itu, nah masalah atau risiko sudah tertangani dan pasti sudah cukup penanganannya, tapi ternyata semua nggak menjawab permasalahan. Dan ini dimuka masyarakat (atau anggota organisasi) sepertinya “sudah dilakukan sesuatu” , everything is under controled, ini yang saya sebut ‘ulas-ulas’ saja (pokoknya sudah dibahas gitu looh..), inipun dilakukan ditengah ‘kepercayaan’ telah menjadi barang yang langka dalam kehidupan bermasyarakat. Jawabannya secara akuntabilitas sangat mudah;” Lho kan sudah dirembug.. kan sudah dibentuk Tim ini dan itu..” just as simple as that.
Ini bukan hanya ada di tataran Pemerintahan atau Organisasi Negara, coba tengok kiri dan kanan anda, di organisasi dimana anda berada misalnya...
Well what do you think about this folks..